Kasus dugaan ijazah palsu yang menimpa Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mencuat ke permukaan. Meski isu ini telah berulang kali dibantah dan dibantah pula oleh pihak-pihak resmi, sebagian masyarakat dan tokoh publik tetap menyorotinya. Menariknya, kasus ini rupanya bermula dari sebuah pernyataan santai Jokowi sendiri—yang ia lontarkan lebih dari satu dekade lalu.

Dalam sebuah wawancara 12 tahun lalu, Jokowi sempat melontarkan candaan bahwa ia “tidak pernah lulus SD”, sebuah kalimat yang ia ucapkan secara tidak serius dan dalam konteks humor. Namun, sebagian orang menafsirkan ucapan tersebut secara harfiah. Sejak itu, spekulasi mengenai keaslian ijazah Jokowi mulai beredar, terutama di media sosial dan forum-forum diskusi daring rtp medusa88.

Beberapa pihak kemudian memanfaatkan momen tersebut untuk menggugat keabsahan dokumen pendidikan Jokowi. Mereka melaporkan kasus ini ke pengadilan dan meminta klarifikasi dari pihak terkait, termasuk sekolah dan universitas tempat Jokowi menempuh pendidikan.

Meski pihak sekolah dan Kementerian Pendidikan sudah memberikan klarifikasi resmi dan menunjukkan dokumen pendukung, sebagian publik tetap meragukan. Hal ini menandakan bahwa isu ini bukan hanya soal data atau dokumen, tapi juga menyentuh aspek kepercayaan dan persepsi politik.

Pengamat menilai, candaan kecil yang tidak disengaja bisa berdampak besar, terutama saat publik memaknainya secara berbeda. Jokowi mungkin tak pernah menyangka bahwa pernyataan ringan itu bisa memicu keraguan bertahun-tahun kemudian.

Kasus ini menjadi pengingat bahwa di era digital, setiap kata bisa disimpan, disebar, dan ditafsirkan ulang kapan saja. Oleh karena itu, figur publik harus lebih berhati-hati dalam menyampaikan pesan, bahkan saat mereka hanya bermaksud bercanda.